Kebun ZooRaya


kebun-zooraya

Kebun ZooRaya hening. Tak terdengar jeritan Tumb, siamang yang biasanya menyambut saya. Jeritan yang mengganggu telinga saya. Meski saya tahu, itulah bahasa yang Tumb pahami. Tumb yang selalu merasa harus diperhatikan. Tumb yang merasa tua dan terhormat. Saya, Rong, kucing peliharaan pemilik kebun ZooRaya tempat tinggal Tumb. Tumb yang mengangkat dirinya sebagai pimpinan para siamang di kebun yang luasnya sekitar dua hektar. Kebun yang dihuni oleh puluhan siamang, lima gajah, dua unta, sepuluh kelinci, lima anjing penjaga, dan sepasang ayam hutan berwarna hitam pekat. Warna yang mengingatkan Rong dengan gelapnya malam, dan kengerian yang tersembunyi di dalamnya.

Tak puas dengan memimpin para siamang, Tumb pun berambisi memimpin semua yang hidup di kebun. Termasuk saya. Padahal Tumb tahu, saya Rong lebih suka ada di dalam ruangan pemilik kebun, menikmati dinginnya ruang ber-AC yang nyaman. Tapi, demi rasa persaudaraan, Rong hadir sambil membawa kudapan kesukaannya dalam acara kampanye Tumb siang itu. Dilihatnya Tumb sudah menggunakan seragam terbaiknya yang terbuat dari daun pisang batu yang berwarna hijau segar, lengkap dengan catatan lengkap di tangannya yang berbulu. Eror, ajudannya sibuk mondar-mandir memberikan lembaran daun yang bertuliskan visi misi Tumb. Lembaran daun pisang yang diambil Tumb dengan hati-hati dari tanaman pisang yang tumbuh di samping kandang Kurk, salah satu ayam hitam yang suaranya paling bagus di Kebun ZooRaya.

“Dengar, saudara-saudaraku!” Tumb berteriak lantang. “Kita harus berjuang bersama-sama menuntut hak kita!”

“Apa yang Tumb katakan? Saya tidak mengerti.” Mawar, istri Kurk bergumam. Ia mendesah, memandang suaminya yang berdiri di samping Tumb. “Padahal lebih enak duduk di kandang. Di sini kan panas.”

Rong hanya mengangguk, tak bicara apa-apa. Mulut Rong terus mengunyah kudapan yang ia bawa. Teri crispy buatan tetangga pemilik ZooRaya di kampung Hanura, Lampung Selatan. Kata orang, teri crispy buatan kampung Hanura ini teri terbaik di Lampung. Teri kesukaannya. Rong juga membawa cangkir kopi panas yang baunya memenuhi udara kebun. Rong tersenyum, mengingat bagaimana teman-temannya begitu suka menemuinya, sekedar untuk mencicipi seangkir kopi panas buatannya.

“Kopinya masih ada?” Mawar menoleh, memandangi cangkir di tangan Rong.

“Masih.” Rong menunjuk termos di samping kursinya. “Ambil saja.”

Komentar

  1. Jadi ingin bergabung menyesap kopi bersama Mawar dan Rong nih Mba hehehe
    Cerita ringan seperti ini dibutuhkan buat merilekskan hati :)

    BalasHapus

Posting Komentar