Generasi milenia yang lahir di tahun 2000an bisa dibilang sebagai kaum yang begitu lahir langsung kenal dunia digital. Dunia yang terlihat lebih nyata dibanding yang sebenarnya. Hal yang melahirkan dilema bagi generasi z ini.
Aku ingat banget dengan kelahiran anak-anak artis, teman atau keponakan yang turut meramaikan dunia medsos. Bahkan, kadang kita tahu kabar tentang kelahiran anak saudara atau teman kita melalui medsos. Bukan dari orang yang bersangkutan.
Kemudian, kami pun (termasuk aku) sibuk mengucapkan selamat lewat wa atau fb atau instagram. Berlomba-lomba memberi ucapan terbaik. Turut bahagia dengan doa-doa yang dikirim melalui pesan wa. Senang banget karena praktis, cepat dan murah.
Bisa dibilang bahwa hubungan sesama manusia makin rekat berkat media sosial. Bukan melalui silaturahmi tatap muka langsung. Meski jarak rumah hanya terpisah tembok saja. Kami juga bisa bertukar hadiah lewat jasa media sosial. Tanpa repot-repot keluar rumah.
Berbagai alasan efisiensi bikin medsos makin digemari. Selain itu, medsos juga memberi peluang baru terbuka. Menjanjikan berbagai kenyamanan dan kemudahan bagi generasi digital.
Berbeda dengan zaman saat aku kecil dulu, sekarang aku akan sulit mendapati seorang teman yang tidak sibuk dengan gawainya. Bahkan saat ngobrol denganku, teman-temanku masih sibuk dengan medsosnya. Sekedar menjawab teks wa atau ig.
Well, menurutku itu bukannya buruk. Karena era ini kita emang dituntut multitasking. Tapi, entah kenapa, aku sering merasa dicuekin. Atau sendirian meski banyak teman yang duduk di dekatku. Fyi, aku tuh termasuk orang yang nggak begitu giat di medsos. Mungkin itu sebabnya aku nggak punya banyak temen di medsos ya..hehe..
Selanjutnya aku jadi berpikir tentang efek medsos yang merubah level ikatan emosional generasi milenia dibanding zaman 90an.
Kalau dulu, ketemu temen ya ngobrol, gibahin orang atau sekedar ketawa-ketiwi. Tentu saja ditemani dengan camilan dan minuman ringan. Bisa becanda seharian, bertukar menu atau curhat sampai tuntas. Perut kenyang, hati bahagia.
Sedangkan sekarang ini, ketemuan temen untuk ngobrol di warung bakso, misalnya, lha bukannya makan bakso atau gibahin orang bareng - tapi sibuk berphoto ria. Lalu, update status. Bahkan bikin story di medsos. Hingga lupa untuk nikmatin bakso dan ngobrol dengan temen yang lama gak ketemu. Ironis banget ya.
Dipikir-pikir, senang juga sih. Tapi kok aku ngerasa ada yang kurang. Ikatan emosional yang seolah terkikis oleh pesatnya kemajuan teknologi.
Sederhananya sih, kita bisa mengirim ucapan bela sungkawa pada teman satu - sambil chatting santai dengan teman yang lain. Kita jadi lebih rasional dan praktikal.
Nggak tau juga kalo itu buruk atau baik. Tapi kayaknya kok berasa "dingin" ya?
Anehnya lagi, kita bahkan lebih tau keadaan artis/ selebriti yang nun jauh di sana- dibanding tetangga yang rumahnya berbatas tembok. Kita bisa tertawa saat selebriti tersebut bahagia, dan menangis saat tahu mereka bersedih.
Kita pun menjadikan kehidupan mereka sebagai standar pola hidup yang wajib diikuti. Dari makanan, dan pakaian hingga kendaraan yang mereka miliki - jadi simbol kesuksesan dan kebahagiaan. Mereka jadi percontohan, dan bukan lagi sekedar tontonan atau hiburan.
Aku ingat banget dengan kelahiran anak-anak artis, teman atau keponakan yang turut meramaikan dunia medsos. Bahkan, kadang kita tahu kabar tentang kelahiran anak saudara atau teman kita melalui medsos. Bukan dari orang yang bersangkutan.
Kemudian, kami pun (termasuk aku) sibuk mengucapkan selamat lewat wa atau fb atau instagram. Berlomba-lomba memberi ucapan terbaik. Turut bahagia dengan doa-doa yang dikirim melalui pesan wa. Senang banget karena praktis, cepat dan murah.
Bisa dibilang bahwa hubungan sesama manusia makin rekat berkat media sosial. Bukan melalui silaturahmi tatap muka langsung. Meski jarak rumah hanya terpisah tembok saja. Kami juga bisa bertukar hadiah lewat jasa media sosial. Tanpa repot-repot keluar rumah.
Berbagai alasan efisiensi bikin medsos makin digemari. Selain itu, medsos juga memberi peluang baru terbuka. Menjanjikan berbagai kenyamanan dan kemudahan bagi generasi digital.
Pengaruh medsos secara emosional
Berbeda dengan zaman saat aku kecil dulu, sekarang aku akan sulit mendapati seorang teman yang tidak sibuk dengan gawainya. Bahkan saat ngobrol denganku, teman-temanku masih sibuk dengan medsosnya. Sekedar menjawab teks wa atau ig.
Well, menurutku itu bukannya buruk. Karena era ini kita emang dituntut multitasking. Tapi, entah kenapa, aku sering merasa dicuekin. Atau sendirian meski banyak teman yang duduk di dekatku. Fyi, aku tuh termasuk orang yang nggak begitu giat di medsos. Mungkin itu sebabnya aku nggak punya banyak temen di medsos ya..hehe..
Selanjutnya aku jadi berpikir tentang efek medsos yang merubah level ikatan emosional generasi milenia dibanding zaman 90an.
Kalau dulu, ketemu temen ya ngobrol, gibahin orang atau sekedar ketawa-ketiwi. Tentu saja ditemani dengan camilan dan minuman ringan. Bisa becanda seharian, bertukar menu atau curhat sampai tuntas. Perut kenyang, hati bahagia.
Sedangkan sekarang ini, ketemuan temen untuk ngobrol di warung bakso, misalnya, lha bukannya makan bakso atau gibahin orang bareng - tapi sibuk berphoto ria. Lalu, update status. Bahkan bikin story di medsos. Hingga lupa untuk nikmatin bakso dan ngobrol dengan temen yang lama gak ketemu. Ironis banget ya.
Dipikir-pikir, senang juga sih. Tapi kok aku ngerasa ada yang kurang. Ikatan emosional yang seolah terkikis oleh pesatnya kemajuan teknologi.
Sederhananya sih, kita bisa mengirim ucapan bela sungkawa pada teman satu - sambil chatting santai dengan teman yang lain. Kita jadi lebih rasional dan praktikal.
Nggak tau juga kalo itu buruk atau baik. Tapi kayaknya kok berasa "dingin" ya?
Anehnya lagi, kita bahkan lebih tau keadaan artis/ selebriti yang nun jauh di sana- dibanding tetangga yang rumahnya berbatas tembok. Kita bisa tertawa saat selebriti tersebut bahagia, dan menangis saat tahu mereka bersedih.
Kita pun menjadikan kehidupan mereka sebagai standar pola hidup yang wajib diikuti. Dari makanan, dan pakaian hingga kendaraan yang mereka miliki - jadi simbol kesuksesan dan kebahagiaan. Mereka jadi percontohan, dan bukan lagi sekedar tontonan atau hiburan.
Akibatnya?
Semua ada dampaknya. Hal positif yang muncul adalah maraknya produk-produk bermutu yang meningkatkan kesempatan orang untuk berbisnis. Membuka peluang usaha baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sebut saja bisnis ayam geprek bensu yang buka peluang kerja bagi masyarakat.
Kita juga jadi lebih memperhatikan penampilan fisik agar lebih menarik seperti mereka.
Kelebihan lain adalah tersebar luasnya secara masif inspirasi untuk kebaikan. Bahwa kesulitan hidup akan berakhir dengan kerja keras tanpa menyerah, seperti kisah sukses Inul yang berhasil menjadi pedangdut terkenal.
Nah, selain dampak positif, kita juga pun mendapati hal negatif dari medsos. Efek yang mungkin bisa mengkaramkan rasa percaya diri akan identitas diri dan kemanusiaan - unless kita mengontrol penggunaan medsos kita.
Kenapa aku bilang begitu?
Bagaimana tidak? Seseorang yang tenggelam dalam dunia medsos ini - mungkin - akan melupakan eksistensi dirinya. Ia akan dikemudikan oleh peran medsos yang berubah cepat seiring pergeseran tren yang ada.
Bisa dibilang, kita bisa jadi 'boneka' medsos yang cantik, tampan dan rupawan sesuai tuntutan tren medsos. Tapi kita 'hilang' tanpa bekas. Hanya cangkang busana elegan, sepatu bermerk, tas kwalitas terbaik atau perhiasan senilai milyaran. Seolah semuanya menggantikan diri kita yang punya 'keunikan'. Hasilnya, generasi ini seperti produk digital yang serupa. Meski kamu tinggal di batas dunia dengan kearifan lokal istimewa yang wajar terlihat 'beda'.
Yah, akan sulit bagi kita melihat orang yang busananya tidak ngikutin tren. Lalu, dengan nyinyirnya kita bilang ia kampungan atau ndeso. Padahal, katanya kita ini generasi milenia yang open-minded. Terbuka. Berpikiran luas.
Tapi, mengapa begitu sulit berempati dengan perbedaan? Mengapa tak bisa memahami bahwa 'serupa' dalam busana atau 'berbeda' itu pun sebuah pilihan yang patut dihargai.
Sebagian lalu berdalih atas nama kebebasan berekspresi, maka pendapat seperti apa pun boleh dikemukakan. Nggak perlu memfilter karena semua 'bebas'. Seolah perasaan itu telah mati.
Hati dan jiwa jadi dingin. Pertimbangan hanya dari sudut pemikiran yang praktis saja.
Nggak salah. Mungkin. Tapi, aku khawatir kita akan lebih dingin dibanding malam-malam tanpa doa. Tanpa kasih sayang.
Itu menurutku. Gimana menurutmu?
Bandarlampung, 4 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar